Assalamu'alaikum. Wr. Wb.
Pak Kyai, Dalam Al-Qur'an surat Ali Imran :
92 menyatakan bahwa seseorang belum bisa sepenuhnya mencapai suatu kebaikan (al-birra) jika ia belum menginfaqkan sesuatu yang ia cintai.
1. Sebatas manakah makna "al-birra" dalam
ayat tersebut? Karena pada zaman sekarang sangat sedikit sekali manusia yang
rela menginfaqkan hartanya apalagi harus menginfaqkan sesuatu yang sangat
dicintai.
2. Bagaimanakah pandangan para ahli tafsir
atau ahli tasawuf terhadap ayat tersebut, khususnya penekanan terhadap kalimat "tunfiqu
mimmaa tuhibbuna"? apakah terdapat kriteria tertentu, sehingga sesuatu itu
dapat dikatakan "tuhibbuna"?
Mohon penjelasannya Pak Kyai. Mohon ma'af sebelumnya dan kami ucapkan
terima kasih.
Wassalamu'alaikum. Wr. Wb.
Ibnu Syarqawi, Koja Jakarta Utara
Jawaban :
Al-Qur'an sebagai panduan bagi semua umat
manusia (huda li al-nas), sekaligus bagi komunitas elit nan bertaqwa (huda li
al-muttaqin). Al-muttaqin tentu lebih tinggi stratanya ketimbang manusia
kebanyakan. Tentu saja kurikulum dan silabi keimanannya juga lebih tinggi.
Beberapa hikmah bisa diunduh dari ayat 92 Ali Imran ini (Lan tanal al-birr
hatta tunfiqu mimma tuhibbun..).
Pertama, bahwa ayat ini spesial pembelian
surga dengan uang. baik dengan media sedekah atau amal sosial lainnya. Sehingga
tersirat, bahwa sebagian sahabat Nabi ada yang totalitas mempersembahkan
segala-galanya untuk Tuhan. Itulah keimanan totalitas. Meski ada juga yang
biasa-biasa saja.
Soal sedekah, Utsman ibn Affan termasuk
papan atas, sehingga pernah mensedekahkan seluruh hartanya untuk belanja perang
Tabuk. Terkagum-kagum dengan keimanan menantunya, sehingga Rasulullah SAW
memberi jaminan masuk surga baginya. " Ma dlarr Utsman ma ba'd
al-yaum". Maksiat apapun yang dilakukan, tak ada pengaruh apa-apa bagi
Utsman menuju surga". Tapi Utsman tidak lantas sembrono, justru malah
tekun beribadah.
Ketika Islam sangat membutuhkan dana
besar-besaran, Tuhan menawarkan Surga (al-birr) dengan harga tinggi,
yakni : harta yang disukai (ma tuhibbun). Saat itu, ada yang
mensedekahkan kebun korma yang sangat subur dan berlokasi di dekat masjid dan
itu satu-satunya harta yang paling disukai. Ada pula yang membeli sumur di
padang sahara milik orang Yahudi. Sumur itu penting sebagai pasokan air
sehari-hari dan logistik berperang. Walhasil, pesan ayat ini tak ubahnya dengan
hukum bisnis biasa. Mau fasilitas surga kelas VVIP, tentu saja tarifnya mahal.
Beda dengan tarif surga kelas ekonomi. Jadi, pembayaran mahal itulah "
ma tuhibbun". Sedangkan al-Birr adalah seluruh kebajikan,
termasuk servis surga.
Kedua, ayat ini tidak menafikan sedekah
partai kecil atau berderma dengan uang recehan. Tapi harus diingat, dalam bursa
kelas atas, uang recehan nyaris tak dihitung. Mana ada hotel mewah dengan tarif
recehan?.
Ketiga, siratan ayat ini juga menunjukkan
bahwa perhitungan pahala sedekah diukur berdasar masing-masing pribadi si pemberi
sedekah (tuhibbun-antum), bukan sekedar volume harta yang disedekahkan.
Untuk itu, bersedekah dengan makanan yang tak lagi diingini, baju bekas yang
tak terpakai, uang receh yang andai hilang tak terasa, adakah semua itu
mendapat pahala ?.
Sama-sama bersedekah 10.000 rupiah, tentu
tak sama pahalanya. Bagi si kaya, jumlah itu tak berarti. Hilangpun, tak dicari.
Sedangkan bagi si miskin, tentu terasa dan berarti, maka pahalanya pun terasa
dan berarti.
Keempat, jika al-birr kita aktualkan
dalam kehidupan sehari-hari, maka bermakna semua kebajikan, termasuk fasilitas
dunia yang terbaik. Semua itu ada kosnya, sehingga identik dengan pepatah Jawa "
Jer basuki mowo beo". Mau enak, ya pakai biaya.
Dan sekecil apapun amal kebajikan dan
sedekah Anda, Tuhan pasti menghitung dan memberi balasan berdasar Rahmat-Nya.
Tak ada yang sia-sia di hadapan-Nya. Itulah yang tertuang dalam penutup ayat, "
wa ma tunfiqu min syai fa inn Allah bih 'alim".
0 comments:
Post a Comment