Pertanyaan warga :Banyak Kontroversi seputar mengucapkan Selamat Natal kepada umat Kristiani. Mohon kiranya Ustadz dapat menjelaskan hukum bagi seseorang yang mengucapkan ucapan tersebut. Jika terjadi ikhtilaf mohon dijabarkan juga dasar-dasarnya.
Jawaban :Terdapat perbedaan pendapat seputar hukum mengucapkan selamat Natal. Perbedaan tersebut mengerucut kepada satu hal; apakah ucapan selamat Natal termasuk kategori akidah (keyakinan) atau muamalah (pergaulan)? Jika dikategorikan akidah, berarti ucapan itu merupakan doa dan kerelaan atas agama orang lain. Bila dikategorikan muamalah, maka ucapan tersebut justru dianjurkan karena merupakan wujud toleransi yang dijunjung tinggi oleh Islam.
Yang mengharamkan
Ulama yang mengharamkan (seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Syeikh Ibn Baz, Shalih al-Utsaimin, Ibrahim bin Muhammad al-Huqail, dll) berlandaskan pada ayat:
Ulama yang mengharamkan (seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Syeikh Ibn Baz, Shalih al-Utsaimin, Ibrahim bin Muhammad al-Huqail, dll) berlandaskan pada ayat:
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
Artinya : "Jika kamu kafir, maka
sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai
kekafiran hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai
kesyukuranmu." (QS. Az Zumar : 7). Menurut golongan pertama ini,
mengucapkan selamat Natal termasuk kategori rela terhadap kekufuran.
Dalil lainnya adalah sabda Rasulullah SAW: خَالِفُوا
الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
"Bedakanlah dirimu dari orang-orang
musyrik, panjangkanlah jenggot dan cukurlah kumis." (HR. Al-Bukhari dan
Muslim dari Ibn Umar ra)
Juga Hadits Nabi SAW: <<مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
''Siapa yang meniru suatu kaum maka ia adalah bagian dari mereka." (HR. Abu Dawud dai Ibnu Umar ra).
Intinya, golongan pertama ini juga
menganggap hari raya sebagai syi'ar agama. Mengucapkan selamat hari raya
berarti mengakui "kebenaran" agama tersebut. Padahal, menurut mereka,
setiap umat memiliki hari besarnya masing-masing. Dan umat Kristiani
menjadikan Natal sebagai hari besarnya. Sementara Islam sudah memiliki
dua hari raya sendiri.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra.,
"Ketika Nabi SAW tiba di Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari
raya yang mereka bersenang-senang di dalamnya. Lalu beliau bertanya,
"Dua hari apa ini?" Mereka menjawab, "Dua hari yang kami bermain-main di
dalamnya pada masa Jahiliyah." Maka Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya
Allah telah mengganti untuk kalian dua hari tersebut dengan Idul Adha
dan Idul Fitri." (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Nabi SAW juga pernah bersabda kepada Abu
Bakar ra., "Hai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari raya, dan inilah
hari raya kita." (HR. Bukhari).
Alasan lainnya adalah Sadd Al-Dzarî'ah
atau memutus akses menuju hal-hal yang dilarang. Mengucapkan selamat
Natal merupakan "jalan" menuju hal-hal yang terlarang itu
Yang membolehkan
Syeikh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa mengucapkan selamat justru merupakan kebaikan
(al-birr), sebagaimana firman Allah SWT:
لايَنْهَاكُمُ
اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ
مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah, 8)
Kebolehan memberikan ucapan selamat juga berlaku jika orang Kristen yang memberikan ucapan selamat kepada kita. Allah berfirman:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
Artinya: Apabila kamu diberi
penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik,
atau balaslah dengan penghormatan yang serupa. Sesungguhnya Allah
memperhitungankan segala sesuatu. (QS. An-Nisa': 86)
Musthafa Ahmad az-Zarqa' menyatakan
bahwa tidak ada dalil yang secara tegas melarang seorang Muslim
mengucapkan selamat hari raya kepada orang kafir. Beliau mengutip hadits
yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah berdiri menghormati
jenazah Yahudi. Penghormatan ini tidak ada kaitannya dengan pengakuan
atas kebenaran agama yang dianutnya. Sehingga ucapan selamat kepada umat
Kristiani tidak terkait dengan pengakuan atas kebenaran keyakinan
mereka, melainkan hanya bagian dari mujamalah (saling berbuat baik) dan
muhasanah (sopan-santun) kepada teman yang berbeda agama.
Selain itu, sikap Islam terhadap
penganut agama monotheis (Yahudi dan Kristen) jauh lebih lunak daripada
kepada kaum Musyrikin penyembah berhala. Bahkan al-Quran menghalalkan
makanan serta wanita ahli kitab untuk dinikahi (al-Maidah: 5). Dan salah
satu konsekuensi pernikahan adalah menjaga hubungan dengan pasangan,
termasuk bertukar ucapan 'selamat'.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, seorang
Majusi mengucapkan salam kepada Ibnu Abbas "assalamualaikum", dan Ibnu
Abbas menjawab "waalaikumussalam wa rahmatullah". Kemudian sebagian
sahabatnya bertanya, "dan rahmat Allah?". Ibnu Abbas menjawab: "Bukankah
mereka hidup itu merupakan bukti mendapat rahmat Allah Swt?."
Intinya, ucapan selamat Natal adalah
bagian dari masalah sosial (muamalah, non-ritual). Dalam Ushul Fiqh
disebutkan, bahwa semua tindakan non-ritual adalah dibolehkan, kecuali
ada dalil yang melarang. Dan menurut golongan kedua ini, tidak ada satu
ayat Al Quran atau hadits pun yang secara eksplisit melarang mengucapkan
selamat kepada orang non-muslim. Ini merupakan pendapat Ibnu Mas'ud,
Abu Umamah, Ibnu Abbas, Al-Auza'i, An-Nakha'i, At-Thabari, dll.
Yang mengklasifikasi (Tafsil)
Selain
dua pandangan di atas, ada juga ulama yang tidak mengharamkan secara
mutlak dan tidak membolehkan secara mutlak. Pendapat ketiga ini memilah
antara ucapan yang haram dan ucapan yang bisa ditolelir.
1. Ucapan yang halal adalah ucapan yang tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Seperti, "Semoga Tuhan memberi petunjukNya kepada Anda."
2. Ucapan yang haram adalah ucapan yang mengandung hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Seperti, "Semoga Tuhan memberkati dan menyelamatkan Anda sekeluarga."
1. Ucapan yang halal adalah ucapan yang tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Seperti, "Semoga Tuhan memberi petunjukNya kepada Anda."
2. Ucapan yang haram adalah ucapan yang mengandung hal-hal yang bertentangan dengan syariah. Seperti, "Semoga Tuhan memberkati dan menyelamatkan Anda sekeluarga."
Golongan ketiga ini juga membedakan
antara ucapan selamat Natal karena terpaksa, dengan yang tidak terpaksa.
Jika seorang Muslim berada di lingkungan Mayoritas Nasrani, seperti di
Ambon, Papua, atau negara-negara Eropa dan Amerika; atau pegawai yang
bekerja kepada orang Nasrani, siswa di sekolah Nasrani, pebisnis yang
sangat tergantung dengan kolega Nasrani, maka boleh mengucapan selamat
Hari Natal kepada orang-orang Nasrani yang ada di sekitarnya.
Ucapan selamat itu harus dibarengi unsur keterpaksaan dalam hati (inkar bil qalbi) serta diiringi istighfar.
Di antara kondisi terpaksa seperti: pegawai muslim yang tidak mengucapkan Selamat Natal karirnya dihambat atau dikurangi hak-haknya. Atau siswa muslim yang tidak memberikan ucapan Selamat Natal akan ditekan nilainya, diperlakukan tidak adil, dikurangi hak-haknya. Atau seorang muslim yang tinggal di daerah/negara non muslim jika tidak memberikan Selamat Hari Natal kepada tetangga Nasrani akan mendapatkan tekanan sosial dan sebagainya.
Di antara kondisi terpaksa seperti: pegawai muslim yang tidak mengucapkan Selamat Natal karirnya dihambat atau dikurangi hak-haknya. Atau siswa muslim yang tidak memberikan ucapan Selamat Natal akan ditekan nilainya, diperlakukan tidak adil, dikurangi hak-haknya. Atau seorang muslim yang tinggal di daerah/negara non muslim jika tidak memberikan Selamat Hari Natal kepada tetangga Nasrani akan mendapatkan tekanan sosial dan sebagainya.
Pendapat ini berdasarkan kepada firman Allah swt sbb:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْعَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya: "Barangsiapa yang kafir kepada
Allah sesudah ia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang
yang terpaksa, padahal hatinya tetap tenang keimanan. Akan tetapi orang
yang menerima kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya
azab yang besar". (QS. Al-Nahl, 106).
Jika kondisi tidak memaksa dan tidak ada
pengaruh sama sekali terhadap karir, jabatan, hak-hak, atau perlakuan
orang-orang Nasrani sekelilingnya, maka tidak diperbolehkan baginya
mengucapkan Selamat Natal.
Kita ikut yang mana?
Menurut kami, pendapat ketiga ini lebih kuat karena menetapkan hukum sesuai dengan situasi dan kondisi. Pertama, persoalan hukum yang bersifat ijtihadi (debatable dan tidak ada dalil secara langsung), maka keputusannya tidak boleh "hitam" dan "putih", tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Ini merupakan prinsip Ushul Fiqh.
Menurut kami, pendapat ketiga ini lebih kuat karena menetapkan hukum sesuai dengan situasi dan kondisi. Pertama, persoalan hukum yang bersifat ijtihadi (debatable dan tidak ada dalil secara langsung), maka keputusannya tidak boleh "hitam" dan "putih", tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Ini merupakan prinsip Ushul Fiqh.
Kedua, dalam kaidah fiqh ditegaskan
bahwa: keluar dari kungkungan khilaf (perbedaan pendapat) merupakan
anjuran syariat. Artinya, jika kita berpegang pada pendapat yang
mengharamkan saja, berarti kita menafikan pendapat yang menganjurkan;
dan begitu sebaliknya. Maka pendapat ketiga (yang mempertimbangkan sikon
dengan hukum yang berbeda), adalah solusi agar kita keluar dari
kungkungan khilaf tersebut. Wallahu a'lam.
0 comments:
Post a Comment